“Kalo lo lagi ngliput demo, lo kudu ngerti kemana lo bakalan lari kalo misal suasana jadi gak karuan. Kaya maling. Lo bisa masuk rumah, kudu juga bisa keluar”. Jawab pak JS, sore itu di bentara budaya. Ia waktu itu sedang menjawab pertanyaan seorang mahasiswa bagaimana tips-tips ketika meliput kejadian Mei 98.
Julian Sihombing adalah wartawan senior Kompas yang berkarir mulai sekitar tahun 86an. Bang JS—Julian Sihombing terkenal dengan foto-fotonya yang dapat menangkap momen puncak. Ia memiliki visi kedepan: dapat melihat kejadian puncak. Beberapa fotonya beredar luas di dunia maya: Wikipedia. “Kadang emang tuh foto kita kaya udah jadi milik masyarakat. Ada satu poto mejeng di wikipedia kalo lo ketik mei 98 di google. Wikipedia belum ijin ma gua. Hahaha”. Candanya.
Beberapa foto tentang momen puncak yang melegenda dalam sejarah foto jurnalistik Indonesia sempat ia bukukan dalam Slit Second: Slipt Moment. Buku tersebut adalah buku pertamanya. Ia merasa tertinggal dalam hal mendokumensaikan karya dalam bentuk buku di banding dengan fotografer lainnya. “Beberapa tahun kemaren, baru nih kepikiran bikin buku. Klise-klisenya udah pada jamuran, terpaksa gua cari-cari lagi. Kalah gua ma temen-temen yang lain. Haha”. Elaknya.
“Bung, emang tuh… waktu 98 tuh suansana kacau. Harga-harga naik gak karuan. Sampe ada orang yang waktu itu minta rokok ma gua. Katanya dia pengen ngrokok malbor tap igak ada duit”. Pak JS sempat mengenang kembali saa-saat meliput kejadian Mei 98. Ia bercerita tentang waktu itu. Suasana yang kacau, inflasi yang melangit. Kerusuhan pun meledak, ia ditugaskan untuk meliput. Ia bercerita ketika ia momotret aktivis wanita yang jatuh di aspal. Ia sempat menolong setelah mengambil gambar. Ia pun mengabarkan bahwa wanita tersebut sekarang telah melanjutkan studinya di Belanda.
Menarik menilik kepribadian bersahaja Bang JS. Ia menganggap pemula fotografi sebagai teman. Bahwa apa yang sedang dialami di jaman digital adalah rejeki jaman. “Emang enak jaman sekarang, motret bisa langsung diliat. Tapi, yaudah lah. Itu kan rejekinya kalian. Mestinya bisa lebih bagus lagi nih karya-karyanya” selorohnya memberi semangat fotografer-fotogrefer muda. Ia memberikan banyak langkah-langkah mencapai sukses berkarir di fotografi, seperti harus lebih rajin lagi terjun di masyarakat, berguru pada yang lebih pandai, cari momen puncak, ambil dengan berbeda, bangun lebih pagi(golden light) dll. Semua ia ceritakan seperti ia bercerita pada teman karibnya sendiri. Ia memiliki gaya berkomunikasi yang langsung—berkonteks rendah, khas orang medan. Mungkn karenanya, pembawaanya nampak bersahaja.
Beberapa lama tak terdengar kabar, Pak JS berada di luar negeri. Ia sedang berobat karena suatu kendala sakit. “Yang nyenengin kerja di Kompas, gaji ya cukup lah, tapi tunjangan banyak. Ada tunjangan kesehatan pula. Jadi kalo lo banyak ngrokok, ga masalah sama paru-paru lo”. Dalam cerita yang diselingi tawanya.
Hari ini, 14 Oktober 2012, menjadi hari ia berpulang. Sekian tahun merekam jejak dalam fotografi telah menjadi baktinya pada Indonesia. Sumbangannya akan terus jadi harta karun buat masa depan. Selamat jalan Julian Sihombing.{}