*Disadur dari prolog buku Love Me Better: Kisah nyata seorang wanita yang terperangkap kekerasan dalam rumah tangga, Rosalind B. Penfold.
KETIKA BERTEMU BRIAN, aku jatuh cinta setengah mati padanya. Kukira kisah cinta kami akan seperti dalam dongeng. Dan memang itulah yang terjadi… untuk waktu singkat… SAMPAI SEMUA MULAI BERUBAH. Kuabaikan ucapan merendahkan dan sikap sok kuasa samar di awal hubungan kami. Aku juga tak mau mempercayai apa yang terjadi, sampai aku tenggelam dalam LUMPUR PENYIKSAAN VERBAL, EMOSIONAL, SEKSUAL, dan akhirnya FISIK.
Aku berpegang pada janji Brian, bukan pada apa yang kulihat dan alami. SIKAP MENYANGKAL DAN RASA MALU membuatku bertahan bersamanya selama sepuluh tahun. Sepanjang masa itu aku berusaha mengetahui apa kesalahanku dan bagaimana aku bisa memperbaikinya. Aku TIDAK SELALU BISA MENGINGAT penyiksaan. TIDAK ADA POLA YANG BISA DIDUGA, dan rasanya otakku menghapusnya karena tidak sesuai dengan harapanku. Aku tidak mau mengakhiri hubungan ini—AKU HANYA INGIN SIKAP BRIAN BERUBAH! Aku menganggap diriku kuat—seperti batu—Namun, dalam hubungan ini aku jadi begitu bingung sehingga MULAI KEHILANGAN SEMUA RASA TENTANG DIRIKU.
Orang-orang yang terlibat dalam hubungan yang merusak kerap salah menafsirkan intensitas sebagai keintiman. Rasanya memang intim karena sifatnya SANGAT PERSONAL, tapi keintiman membutuhkan kepercayaan—padahal tidak ada kepercayaan dalam hubungan yang merusak. Polanya seperti ini: Cium! Tampar! Cium! Tampar! Cium! Tampar!
Untuk setiap tamparan kita mendapatkan ciuman, dan untuk setiap ciuman kita mendapat tamparan. Yang mana yang ingin kita percayai? Ciuman, tentu saja. Itulah YANG MEMBUAT KITA BERGEMING.
Selama sepuluh tahun bergeming, aku terus berharap ada kamera di langit-langit. Aku menulis buku harian, tapi BILA KATA-KATA TAK BERHASIL MENGUNGKAPKANNYA, AKU MENUANGKANNYA DALAM BENTUK GAMBAR. Aku ingat pernah berpikir, “Mungkin otakku belum bisa mencerna ini… mungkin kalau nanti kulihat gambar-gambar ini, semua terasa masuk akal.” Tapi itu tak pernah terjadi, dan gambar-gambar itu tersimpan di kotak di ruang bawah tanah.
MENGAPA BRIAN BERSIKAP SEPERTI ITU? Aku mati-matian memahaminya, kenapa aku bergeming? Itu pertanyaan yang jauh lebih bagus. Aku percaya kalau kita ditampar di pipi kanan, sodorkanlah pipi kiri. Aku percaya DIA mencintaiku. AKU PERCAYA DIA AKAN BERUBAH… aku percaya bisa menjaga anak-anaknya… aku percaya cintaku akan membuatnya jadi lebih baik… aku menggunakan BEGITU BANYAK ALASAN untuk merasionalisasi mengapa aku bertahan, aku tidak mau membuka mata.
Lalu suatu hari aku menemukan GAMBAR YANG KU BUAT. Otakku bisa merasionalisasi dan membantah, tapi karya seni gambarku mengungkapkan kebenaran dengan gamblang. Akhirnya aku melihat bahwa KEBENARAN YANG PALING MENGEJUTKAN BUKANLAH SIKAPNYA, MELAINKAN SIKAPKU—sebab aku bertahan dan membiarkan pengrusakan diriku ini. (Batu bisa hancur gara-gara air, jika batu itu diam cukup lama di bawah tetesan air.) AKU TAHU AKU HARUS KELUAR UNTUK MELINDUNGI DIRI.
Mempelajari Sindrom Stockholm (Stockholm Syndrome: a condition experienced by some people who have been held as hostages for an extended time in which they begin to identify with and feel sympathetic toward their captors. editor) dan teori-teori lain membantuku memaafkan diri sendiri. MENERIMA TANGGUNG JAWAB MEMBUAT DIRIKU BERDAYA. Memang tidak mudah melepaskan, dan aku berkali-kali gagal. Untunglah harga diri bersifat kontekstual, jadi aku tidak memandang diriku sebagai korban, melainkan sebagai orang yang diberi pengalaman khusus ini untuk BELAJAR DAN BERKEMBANG.
Aku tidak pernah ingin mempublikasikan gambar-gambar ini. Menceritakan isi buku harian kita pada orang lain tidaklah mudah—dan, mula-mula, aku merasa malu. Lalu aku membaca C.S. Lewis dan memutuskan PERASAAN MALU MERUPAKAN MUSUH. Aku mulai berharap gambar-gambarku dapat membantu orang lain—bahkan saling membantu—melihat KERUSAKAN MENGERIKAN DAN BERJANGKA PANJANG YANG BISA DITIMBULKAN KEADAAN SEPERTI ITU terhadap keluarga.
Kalau dicermati, gambar-gambarku memperlihatkan detail yang mengejutkan. Pada adegan aborsi, anda akan menyadari bahwa AKU MENGGAMBAR DIRIKU SEBAGAI ANAK berumur 6 tahunan ketika menangis didepan dokter (kakiku tidak menyentuh lantai); anak usia 12 tahunan di ruang ganti baju; dan orang dewasa waktu pulang. Bahkan gaya gambarnya—ada yang lembut, ada yang keras—berubah dari frame ke frame. Semua itu kulakukan tanpa sadar.
Menariknya, GAMBAR-GAMBARKU MEMERIKU JARAK, TAPI MALAH MEMBUAT ORANG-ORANG YANG TAK KENAL DIRIKU BISA MELIHAT LEBIH CERMAT. Gambar-gambar itu mengilustrasikan apa yang kumaksud ketika mengatakan seni dapat menyampakan kebenaran.
Walaupun gambar itu buatanku, pola penyiksaan yang ditampilkan BISA TERJADI PADA SIAPA SAJA. Kita membutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang terpaksa dialami para anggota keluarga—terutama anak-anak. AKU BERHARAP BUKU INI AKAN MEMBANTU pembaca mengenali tanda-tanda penyiksaan. Kalau tidak menyebutkannya, kita tidak akan mengenalinya. Kalau gagal mengenali, kita akan menanggung resiko. Kalau kita melepaskan kekuatan pribadi atas nama cinta, KITA BERESIKO MENGHANCURKAN DIRI SENDIRI PERLAHAN-LAHAN.
Namun, ku akui tidak semua pelaku penyiksaan adalah pria, dan tidak semua korbannya perempuan, tapi aku hanya bisa menyampaikan kisahku dari sudut pandang perempuan dan berharap pria akan menceritakan kisah mereka sendiri.
Aku tak berniat mengungkap identitas para tokoh dalam buku ini—tidak ada gunanya. AKU BERNIAT MENOLONG BUKAN MENYAKITI. Ini fenomena global, bukan orang tertentu. Semua nama, tempat, dan tanggal telah diubah, dan kemiripan apa pun dengan seseorang atau suatu tempat tidaklah disengaja.
Aku berterima kasih karena anda bersedia membaca kisahku, dan kuharap kisahku memberi pencerahan. Kebenaran selalu menyinari kegelapan: itulah yang membuat bayangan sulit timbul.[]